Kenangan Joko Pinurbo: Selamat Jalan Menuju Keabadian

Koleksi karya Joko Pinurbo

Sebelum Masuk (2020)

Sebelum masuk ke dalam kata,
burung mengosongkan dirinya
dari kecemasan-kecemasan manusia
yang tidak berguna agar makin cling
suaranya, dari prasangka-prasangka
manusia yang suka konselet hatinya
agar makin bening kicaunya.

Joko Pinurbo (Sepotong Hati di Angkringan)
 

Duka kehilangan om yang hubungannya dekat bulan lalu belum tuntas, saya dibikin berduka lagi atas kepergian Jokpin dan luka yang belum sepenuhnya pulih pun bertambah pedih. 💔 Membaca kiriman sastragpu perihal kabar duka Jokpin rasanya seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Sejak tahu kabar beliau sakit dari kiriman kak Lucia Priandarini dan sastragpu, kegelisahan menghampiri saya. Hal-hal yang saya takutkan pun berhamburan dan sangat berharap lekas lenyap dan gak kejadian. Namun, pagi tadi harapan itu sirna tanpa keterkabulan dan hari yang saya takutkan terjadi. Sampai saat menulis ini pun saya masih mencerna kabar kepergian beliau. Duka yang mendalam, kehampaan, dan kesunyian menyelimuti lubuk hati saya.

September 2019, Jokpin mengikuti balik saya di Twitter (X). Saat melihat notifnya, saya termangu lama dan keheranan. Sebab, kala itu saya belum menjadi penggemar dan pengoleksi karya-karyanya. Saya hanya pernah membaca puisi-puisinya yang berseliweran di media sosial dan yang beliau bagikan di Twitter. Berinteraksi pun seingat saya belum pernah. Rasa malu kian menyergap ketika Jokpin mengikuti balik saya di Instagram pada Mei 2020 lantaran niat membaca karyanya selalu gagal terlaksana. Tahun 2020 bisa dibilang awal perkenalan saya dengan Jokpin. Buku Haduh, aku di-follow (KPG, 2013) menjadi karya pertama beliau yang saya baca. Judulnya amat mewakili reaksi saya ketika mengetahui beliau mengikuti media sosial saya.

Empat tahun ke belakang karya-karya Jokpin memeriahkan hidup saya yang terkadang gelap dan amat melelahkan. Hingga sekarang saya sudah membaca sepuluh karyanya: Haduh, aku di-follow, Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu (Grasindo, 2016), Srimenanti, Perjamuan Khong Guan (Gramedia Pustaka Utama, 2020), buku cerita Tak Ada Asu di Antara Kita (Gramedia Pustaka Utama, 2023), Celana (Gramedia Pustaka Utama, 2018), Sepotong Hati di Angkringan (DIVA Press, 2021), Baju Bulan: Seuntai Puisi Pilihan (Gramedia Pustaka Utama, 2013), Kekasihku (KPG, 2004), dan Surat Kopi (Grasindo, 2021). Setiap karya memberi kesan mendalam, pandangan baru, dan mengena di hati, juga secara gak langsung mengajari dan menginspirasi saya. Saya belajar banyak dari puisi, cerita, novel, maupun pribadi Jokpin.

Sejak itu, saya mulai membaca karya Jokpin satu per satu dan jatuh hati sekaligus menasbihkan diri sebagai penggemar setelah membaca novel perdananya, Srimenanti (Gramedia Pustaka Utama, 2019). Masih ingat banget bagaimana Jokpin mempermainkan hati dan perasaan saya lewat novel itu. Srimenanti pula yang membikin saya mengumpat dengan hati senang dan tanpa merasa bersalah, ketagihan dipermainkan Jokpin, membikin saya mencoba meresensi dengan gaya berbeda dan strategi baru, dan makin suka dengan kesederhanaan, kenakalan, dan kejenakaannya yang khas sekaligus membekas. Gak jarang saya perlu waktu agak lama dan membaca beberapa kali dalam memahami sebuah puisi, tapi Jokpin dengan puisi-puisinya yang sederhana, humor dan satire menggelitik, dan gampang dipahami mampu membikin saya menikmati dan memahami puisi dalam waktu singkat.

Bagi saya, Jokpin bukan cuma penulis kesukaan, tetapi juga guru dalam tulis-menulis dan penulis yang saya kagumi sekaligus teladani. Masa-masa pandemi adalah masa yang saya syukuri. Sebab, saya bisa berjumpa beberapa kali dengan beliau meski via daring. Mencuri ilmu, menyimak pengalaman, menikmati kejenakaan, dan beribadah bersama. Momen menyenangkan yang gak terlupakan dan amat membekas. Masih hangat di ingatan saya kelakar Jokpin saat ditanya kenapa cerpen di Kuliah (Ora) Umum “Fluiditas Genre dalam Sastra: Sebuah Tinjauan Tak Ada Asu di Antara Kita” pada 24 Februari 2023 lalu. Beliau menjawab, “Saya penasaran dan ingin tes ombak. Puisi dan cerpen lebih laku mana.” Mendengar kelakarnya membikin saya tergelitik dan tersenyum. Beliau kemudian melanjutkan dengan jawaban yang lebih serius, “Saya pengin bereksperimen di dunia prosa.”

Mas Jokpin, kalau boleh dan meski tahu gak akan mendapat jawaban pun tanggapan, izinkan saya menyampaikan sedikit unek-unek. Sewaktu membaca Srimenanti, identitas eltece yang belum diungkap masih menyisakan rasa penasaran sampai sekarang. Saya pikir di salah satu cerita dalam buku Tak Ada Asu di Antara Kita, saya bisa menemukan jawabannya. Nyatanya, justru sebaliknya dan Mas Jokpin mempermainkan hati dan perasaan saya lagi sekaligus membikin kian penasaran. Saya kira nanti akan mendapat jawaban saat Mas Jokpin menerbitkan novel kedua, tapi sepertinya jawaban yang saya cari selamanya tetap menjadi misteri dan eltece menjadi karakter misterius yang bakal selalu menghantui. Kemisteriusannya berdekam di hati saya sejak itu sebagaimana kekhasan Mas Jokpin yang mencuri hati dan menempati ruang spesial di hati saya.

Hidup adalah
pustaka cinta
yang tak akan
habis dibaca

Joko Pinurbo

Salah dua balasan hangat dan ramah Jokpin atas pesan saya di Instagram

Terima kasih, Mas Jokpin, untuk keramahan dan balasan-balasan pesan. Terima kasih untuk karya-karya yang belum pernah gagal melipur, bikin senang, kerap menyentil dan bikin bermenung, mengeluarkan saya dari kepenatan, kejemuan hidup, dan pikiran-pikiran yang mengusik. Terima kasih untuk hiburan, perjamuan, ibadah puisi, dan ilmunya. Kekhasan Jokpin adalah pustaka cinta yang tak akan habis dikenang. Maaf, Mas Jokpin, saya ubah sedikit puisinya. Puisi ini salah satu puisi favorit saya. Selamat jalan, Mas Jokpin. 🥀 Selamat beristirahat dalam cinta dan damai. Kejenakaan, kesederhanaan, kenakalan, keramahan, akal-akalan, cerita-cerita asu, dan kekhasan Mas Jokpin akan selalu saya kenang dan pasti saya rindukan, serta tentu saja abadi di hati. ❤️

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.